Rabu, 26 Agustus 2015



Damhuri Muhammad

Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai kambing akan terasa
hambar lantaran racikan bumbu tidak meresap ke dalam daging. Kuah gulai
kentang dan gulai rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa
parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah
fitnah dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah. Bukan karena kenduri
kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan
pengantin tak sedap dipandang mata, tetapi karena macam-macam hidangan
yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tetapi helat
tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tidak
dilibatkan.
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang
digelar dengan menyembelih tiga belas ekor kambing dan berlangsung selama
tiga hari, tidak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai
pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah
berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung
akan dipercayakan kepada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang
ini. Namun, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai
pria tiba, gulai kambing, gulai nangka, gulai kentang, gulai rebung, dan aneka
hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga
calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan
masakan Makaji.
“Kalau besok gulai nangka masih sehambar ini, kenduri tak usah dilanjutkan!”
ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar,
sehambar gulai kambing dan gulai rebung karena bumbu-bumbu tak diracik
oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tidak pernah keberatan
membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli
apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak
atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji
tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh
Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap
gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
***
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung
ini, bagaimana kalau tanggung jawab itu dibebankan pada yang lebih muda?”
saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti.”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik
bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru
masak di salah satu rumah makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi
berjauhan dengan Ayah.”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orang tua memang
selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya,
meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang
ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu.
Orang tua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan
kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial akan segera
memboyongnya ke rantau. Makaji tetap akan mempunyai kesibukan di Jakarta,
ia akan jadi juru masak di rumah makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik 9
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah
sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan.”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis
Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab
hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak
perempuan tunggal beleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di
Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini
miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu
beres di tangannya. Mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang, atau tambak
ikan sebagai agunan. Dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian
itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat
dari akademi perawat di kota. Tidak banyak orang Lareh Panjang yang bisa
bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial
itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan
siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer
sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan
mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru
masak!” bentak Mangkudun. Dan tak lama berselang, kabar ini berdengung
juga di telinga Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggung jawab. Renggo yakin kami berjodoh.”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan
saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah
tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tetapi tidak patut rasanya
Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati
Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa
luka hati.
Awalnya ia hanya tukang cuci piring di rumah makan milik seorang perantau
dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi
sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk
semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini
sudah jadi juragan, punya enam rumah makan dan dua puluh empat anak
buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan.
Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis
Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling
sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula,
sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang
merawat. Adik-adiknya sudah terbang hambur pula ke negeri orang.
Meski hidup Azrial sudah berada, tetapi ia masih saja membujang. Banyak yang
ingin mengambilnya jadi menantu, tetapi tak seorang perempuan pun yang
mampu meluluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni,
atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
***
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan
ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka
peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar
kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang
dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna
menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian
memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu.
Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tetapi perwira
muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara,
orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak
membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian
hingga resmi jadi perwira muda. Terdengar kabar bahwa perjodohan itu
terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan
Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan
mencarikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih
bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi,
perwira muda polisi yang bila tidak “macam-macam” tentu kariernya lekas
menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tetapi,
pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh
ekor kambing itu tidak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang
hanya datang di hari pertama, sekadar menyaksikan benda-benda pusaka adat
yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik
meninggalkan helat. Bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan,
sudah tergesa pulang.
“Gulai kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah gulai rebungnya encer seperti kuah sayur toge. Kembang perut kami
dibuatnya.”
“Masakannya tak mengenyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik 11
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria
diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan
menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer, dan daging yang
tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di
Lareh Panjang mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu rasa masakan hasil
olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu
mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu.”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini.”
***
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji datang
dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah
berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari
tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang akan kehilangan juru masak
handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga
ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan
betapa terpiuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya
telah dipersunting lelaki lain.

(Sumber: Damhuri Muhammad, 2009, Juru Masak: Sehimpun Cerita Pendek, Depok:
Koekoesan)
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!