Hujan menyambut pagi ini dengan
senyumnya. Tanah disekitarku mengeluarkan aroma khas yang tak bisa disamakan
dengan aroma manapun. Dedaunan juga merunduk tak kuasa menahan air yang
mengguyurnya. Angin berdesir membawa hawa dingin menusuk tulang. Aku menengadah
menatap langit yang mengeluarkan butiran air bening. Kurentangkan tanganku
untuk menyambut hujan. Kubiarkan hujan ini membasuh tubuhku, nodaku, dan
sakitku. Air dari mataku pun mengalir bersatu dengan hujan yang membasahiku. Seiring
hujan yang terus menyelimuti tubuhku, kenangan-kenangan itu muncul dalam
fikiranku seperti film lama yang diputar kembali. Kenangan yang mengingatkanku
akan segalanya. Segala hal yang kurindukan.
Tiga tahun lalu aku begitu
membenci hujan, sangat membencinya. Hingga akhirnya ketika aku bertemu seorang
laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya tersenyum diantara hujan.
Siang itu aku terjebak hujan dan memutuskan untuk menunggu hujan reda di halte.
Kupikir aku sendirian di halte itu ketika kulihat ada seorang laki-laki turun
dari bus dan duduk di sampingku. Laki-laki tersebut memakai celana jeans
panjang dan kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan ditangannya terdapat sebuah
jaket abu-abu yang digunakannya untuk menghangatkan tubuhnya. Beberapa menit
waktu berlalu dan sunyi melingkupi kami berdua, kukira ia tak tahan dengan
diamku hingga akhirnya ia mengajakku berkenalan. Baru beberapa menit kami
berkenalan, aku tak melihat kecanggungan di matanya. Ia menceritakan banyak hal
padaku tanpa peduli kalau kami baru kenal. Aku juga menceritakan banyak hal
padanya, hingga akhirnya aku bercerita padanya kalau aku begitu membenci hujan.
Setelah aku selesai bercerita, ia menatapku bingung. Kemudian ia mengajakku
berdiri dan menari di tengah hujan, tapi aku menolaknya. Ia tak putus asa,
tangannya yang kuat menyeretku ketengah jalan yang saat itu sepi. Ia mengajakku
menari, berdansa, berlari-larian di tengah hujan. Tak terasa hujan telah reda
dan matahari kini berada di kaki langit. Kulihat jam di pergelangan tanganku.
Apakah aku bermimpi? Selama 4 jam aku bermain dengan hujan bersama orang yang
baru kukenal siang tadi. Tapi ini bukan mimpi. Setelah aku sadar, aku
memberitahunya bahwa aku harus pulang sebelum orang tuaku mencariku. Kemudian
ia menawarkan diri untuk mengantarku pulang dan aku mengizinkannya. Kami
berjalan di trotoar. Hening menghampiri kami, ia sibuk dengan pikirannya
sendiri dan aku pun begitu. Terlihat di ujung jalan di depan adalah rumahku,
aku menunjukkannya padanya. Ia mengangguk dan menarikku dengan setengah
berlari. Katanya lebih baik jika aku lebih cepat sampai di rumah. Beberapa
menit kemudian kami telah sampai di depan rumahku. Aku menawarinya untuk mampir
kerumahku tapi ia menolaknya. Ia segera izin pulang karena ingin segera
berganti pakaian dan ia berjanji untuk berkunjung ke rumahku lain waktu.
Beberapa hari kemudian ia menepati
janjinya. Siang itu ia berdiri di depan pintu rumahku mengenakan celana jeans
panjang dan kemeja hijau, baju yang dikenakannya ketika pertama kali ia bertemu
denganku. Ketika aku membuka pintu untuknya ia menyunggingkan senyumnya yang
begitu manis hingga aku tak sadar diri membiarkannya berdiri untuk beberapa
saat. Sesaat aku tersadar lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Tak lama
setelah aku berbincang-bincang dengannya diluar terdengar suara air berjatuhan.
Ia mengajakku duduk di teras dan aku menyetujuinya. Kulihat ia terus memandangi
hujan dan tersenyum kearahnya. Ia seperti tak menghiraukanku, aku terus
mengajaknya berbicara tapi ia hanya mengangguk dan berbicara seadanya tanpa
menoleh kearahku. Semakin lama aku semakin tak tahan, kutarik lengannya yang
kuat ke halaman rumahku. Aku berdiri berhadap-hadapan dengannya kemudian ia
tersenyum ke arahku. Ia mengajakku menari dan berlari-larian seperti saat pertama
kali ia bertemu denganku. Aku tak tahu mengapa kini aku benar-benar menikmati
indahnya hujan. Aku masih belum memahami mengapa ia begitu mencintai hujan. Aku
pun tak mengerti bahwa kurasa kini aku juga mulai menyukai hujan. Suasana yang
ia tunjukkan padaku. Aroma-aroma indah yang ia sodorkan untukku. Ya, kini aku
benar-benar mencintai hujan, sama sepertinya dan dia yang telah membuka hatiku
untuk tak memandang hujan dengan sebelah mata. Kini aku benar-benar merasakan
damainya memeluk hujan. Aku telah terpikat oleh belaian lembutnya yang
membasahi tubuhku.
Sejak kunjungan pertamanya ke
rumahku, ia jadi lebih sering berkunjung hingga orang tuaku telah hafal dengan
wajah dan sifatnya. Hanya saja ia tak pernah memperbolehkanku untuk mengunjungi
rumahnya, bahkan alamatnya pun aku tak pernah tahu.
Suatu malam ia datang ke rumahku
ditemani oleh hujan. Ia menungguku di halaman. Seperti biasa ia mengenakan
celana jeans panjang dan kemeja. Tangan kanannya memegang payung dan tangan
kirinya ia sembunyikan di dalam saku celananya. Aku berlari keluar tanpa
menggunakan payung dan bergabung bersamanya dibawah lindungan payungnya. Tak
seperti biasanya ketika kami tak pernah menghindari hujan kali ini kami
berlindung darinya. Kurasa kedatangannya kali ini tak memberi suasana baik. Aku
semakin yakin kalau perasaanku benar. Ia tak tersenyum seperti biasanya ketika
ia bertemu denganku, ia terus menunduk sedari tadi. Setelah beberapa menit kami
hanya terdiam, ia mengangkat wajahnya dan ia memandangku sembari berkata bahwa
ia baik-baik saja. Lalu aku menatap matanya dan aku mengatakan bahwa aku tahu
bahwa ia tidak dalam keadaan baik. Akhirnya ia menyerah dan ia mengangguk tanda
setuju bahwa ia memang tak dalam keadaan baik. Kemudian ia mengatakan tujuannya
datang kemari ia ingin berpamitan padaku, ia akan pergi ke luar negeri. Hatiku
serasa tersentak, seperti ditindih sesuatu yang membuatku sesak. Tak kusadari
air bening mengalir melewati pipiku. Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa akan
kehilangan seseorang yang amat kusayangi? Ia mencoba menenangkanku dengan
mengatakan kalau ia tak akan lama mungkin hanya beberapa saat, tapi aku tak
mempercayainya. Ia juga mengatakan kalau aku ingin menemuinya suatu saat nanti,
aku harus menunggunya disini saat hujan datang. Setelah selesai mengatakan itu
ia meraih tanganku dan menggenggamkan payungnya di tanganku kemudian ia
tersenyum dengan manis, senyum tulus terakhirnya untukku sebelum akhirnya ia
berbalik dan berjalan menerjang hujan. Ia tak berbalik untuk menoleh padaku
lagi, ia terus berjalan menunduk dengan kedua tangannya dia sembunyikan di saku
celananya. Aku terus menatap kepergiannya hingga tubuhnya hilang di kejauhan.
Aku menjatuhkan payung yang ia berikan padaku. Kubiarkan rinai hujan memelukku,
membasuh tangisku, membiarkanku basah olehnya.
Sejak malam itu aku terus berlari
ke halaman ketika hujan turun. Aku terus menunggunya hingga dua tahun terakhir.
Aku tak mengerti mengapa ia meninggalkanku dengan keadaan seperti ini. Aku
mencintai hujan, aku merindukan hujan sama seperti aku merindukannya, seorang
laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya hujan yang kata orang begitu
menyebalkan. Aku juga masih menitikkan air mata namun tak pernah ada yang tahu
bahwa aku menangis karena hujan telah menyamarkannya. Hingga saat ini pun aku
juga masih menyimpan payung yang ia berikan padaku. Payung berwarna hijau polos
itu masih kusimpan baik-baik. Hanya itu yang kupunya, bahkan fotonya pun aku
tak memilikinya. Aku tak pernah tau dimana ia tinggal, seperti apa rupa orang
tuanya, ia hanya hidup disini, dalam kenanganku. Kenangan yang hanya aku dan
hujan yang tahu.
0 komentar:
Posting Komentar