Because
Love is not a Mistake
Mendung gelap yang tak memberi
kepastian pada bumi.Kepastian apakah gumpalan awan yang dibawanya akan
memberontak untuk dilemparkan ke bumi atau tidak.Ketidakpastian ini,membuat
orang orang di luar sana harap harap cemas jikalau benar gumpalan awan itu
benar benar memberontak dan membasahi tubuh bumi yang kering.Sama halnya
seperti sebongkah hati yang dibiarkan selama ini.Hati yang dibiarkan terombang
ambing dalam ketidakpastian.Ketidakpastian yang membuat hadirnya rasa takut
jika pada kenyataannya yang akan diterimanya adalah sebuah kehilangan,luka,dan
pengkhianatan.
“Setahuku,tidak ada satu kesalahanpun yang
membuatku tega membencimu.” Ujar Rayya, perempuan pemilik bola mata hitam pekat
itu terus menatap gumpalan awan hitam dari lantai atas tanpa menghadapkan
tubuhnya pada dua orang terdekat yang berdiri di belakangnya.
“Kurasa ini sebuah pengecualian,karena aku
telah melakukan kesalahan terbesar.” Jawab Fara, seorang perempuan yang memiliki
lesung di pipi kirinya itu telah berdiri beberapa saat di belakang Rayya,dengan
seorang lelaki yang juga berdiri di sebelahnya.
“Katakan apa itu!”
“Saat apa yang kau rindukan,juga dirindukan
oleh orang terdekatmu.Bukankah tidak seharusnya, siapa yang kau percaya telah
berbuat dusta.Namun rasa itu telah mengalahkan segalanya.Membuatku tak bisa
mempertahankan kepercayaanmu.”
“Dan tidak pula seharusnya, siapa yang selalu
kau rindukan, namun kini telah berbalik melukaimu.” Lelaki berkacamata yang
berdiri di sebelah Fara itu akhirnya membuka mulutnya.
“Seandainya ada yang lebih indah,pasti akan
kuberi apa itu yang lebih indah dari kata maaf,namun aku tidak menemukannya.”
Kata perempuan itu lagi, “Jika kau ingin marah,maka lakukanlah.”
“Tidak perlu.” Ujar Rayya tanpa berbalik ke
arah mereka berdua dan berusaha menahan genangan air yang mengumpul di pelupuk
matanya, “Aku telah mendengar sebuah kepastian,sekarang aku merasa lebih baik.”
Tanpa berkata lebih,ataupun sedikit melihat bagaimana raut wajah dua orang
terdekatnya,Rayya pun melangkahkan kakinya menuruni tiap tiap anak tangga.Setidaknya,telapak
kaki itu masih kuat menopang tubuhnya yang tiba tiba terasa lemas setelah
mendengar hal buruk yang ditakutkannya selama ini.
Apakah kau pernah melihat hujan
turun pada langit yang terang? Tidakkah kau berfikir hal itu akan mustahil
untuk terjadi? Namun pada kenyataannya,manusia di bumi ini pernah
menyaksikannya sendiri.Begitu pula,Rayya tak pernah berfikir jika orang
terdekatnya akan melukai kepercayaan yang diberikan olehnya.Tetapi ia
menyaksikannya sendiri,itu berarti ia harus percaya bahwa hal ini benar benar
terjadi.
Dengan menutupi kepalanya
menggunakan ransel hitam miliknya,Rayya berlari dari halaman sekolah menuju
pintu gerbang.Awan gelap yang ia tatap sejak tadi dari lantai atas itu kini
telah memberi kepastian pada bumi.Ia benar benar memberontak,membuat gumpalan
awan awan itu terlempar ke bumi dan membasahi seluruh isinya.Meski tidak semua
dari mereka menyenangi hujan,namun pada akhirnya mereka tidak bisa menolak jika
takdir meminta hujan untuk turun.Tak berbeda dengan hidup.Pada hakikatnya hidup
itu harus menerima,mengerti,dan memahami.Saat hal buruk terjadi dalam
hidupnya,bagaimanapun ia akan menepikannya,Rayya tidak akan mampu
menolaknya.Karena bagaimanapun bentuknya,sebuah kenyataan haruslah ia terima.
Sekarang,gumpalan awan itu semakin
membasahi kota kecil yang terletak di provinsi Jawa Timur ini.Meski hari masih
siang,namun hampir tidak ada jalanan yang tidak basah.Untungnya,Rayya telah
berada di dalam bus sejak gumpalan awan itu masih melemparkan butiran butiran
kecil,sehingga ia tidak perlu merasakan dinginnya air hujan siang hari itu.
“Pakailah.” Ujar seorang lelaki yang duduk di
sebelah Rayya, “Kau akan lebih tenang jika mendengarkan musik.” Katanya lagi
seraya menyodorkan salah satu bagian headset yang ia kenakan.
“Terimakasih,Hamka.Kurasa aku sedang tidak
perlu mendengarkannya saat ini.” Di balik kerudung putih yang menutupi
kepalanya,perempuan itu menolak dengan halus tawaran dari teman baiknya itu.
“Terkadang,tidak semua yang terjadi dalam
hidup selalu bisa diterima dengan baik.Adakalanya mereka ingin
marah,memberontak pada sebuah kenyataan yang tidak diinginkan.” Lelaki itu
menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.Mendekapkan kedua tangannya di
atas perut untuk sedikit mengusir hawa dingin yang menyerang tubuhnya itu, “Tapi
ketahuilah.Saat kita memilih untuk menerima,maka sesungguhnya disitulah Tuhan
menaruh ketenangan jiwa dan kebahagiaan untuk hamba-Nya.Jadi,jika kau ingin
mengejar kebahagiaan yang sempat hilang itu,jangan benci dan jangan marah,
tetapi pahamilah dan maafkanlah mereka.”
Rayya memang belum pernah merasakan
sebuah kebahagiaan yang hadir dari rasa maaf yang tulus.Tapi sepertinya apa
yang diucapkan Hamka benar.Genangan air yang mengumpul di pelupuk matanya sejak
tadi itupun akhirnya terurai dan membasahi pipinya yang tersembunyi di balik
kerudungnya.Meski Rayya berusaha mengelapnya,namun tetap saja lelaki yang hanya
mengenakan salah satu bagian headsetnya itu tahu jika perempuan yang sejak tadi
menatap keluar jendela tersebut kini tengah menangis.Lelaki itu kembali
memungut salah satu bagian headset yang ditolak oleh Rayya dan membiarkan
perempuan itu larut dalam kesedihannya.Mungkin air mata itu mampu sedikit
menguras kesedihannya.
***
Kehilangannya,bukan berarti Rayya
juga harus menghapuskan suatu hal mulia yang pernah diajarkan oleh lelaki
berkacamata itu.Hal itu tidak lain adalah sujud panjang yang selalu ia tunaikan
pada setiap sujud terakhir dalam sholat,membuat jiwa yang saat ini tengah diuji
menjadi lebih tenang.Doa untuk kedua orang tua,untuk umur panjang mereka,untuk
hati mereka yang semoga selalu diberi kesabaran oleh Allah,adalah sekumpulan
doa yang tak pernah ia lewatkan dalam sujud panjang ini.Namun kali ini ada
sebuah doa yang berbeda.Doa baru untuk hidup barunya.Mungkin Rayya memang telah
memaafkan,telah mampu menerima,tetapi untuk mengikhlaskan dan menghapuskan
perasaan pada siapa yang pernah dirindukan,ia tak mampu melakukannya seorang
diri.Ia butuh Sang Pencipta untuk menuntunnya menuju jalan keihklasan melalui
doa doa yang ia panjatkan.Hingga ia sampai pada penghujung sholat ashar yang ia
tunaikan dan menangkupkan kedua telapak tangan pada wajahnya.
Rayya
melipat mukenanya dan memasukkannya ke dalam ransel,sebelum akhirnya ia
beranjak dari tempat suci itu dan melenggang keluar mushola kecil yang letaknya
tak jauh dari kantin sekolah.Baru ia sampai pada ambang pintu,seseorang yang
tengah duduk pada teras mushola telah menungguinya.Bukanlah orang asing
baginya,namun hari ini seseorang itu nampak berbeda tanpa kacamata minus yang
selalu ia pakai.Entah karena apa lelaki itu tiba-tiba mencari perempuan masa
lalunya.Namun saat Rayya menghampirinya,ia hanya berkata jika ia hanya ingin
mengembalikan sebuah pena berwarna hijau muda yang memiliki lampu senter pada
penutupnya yang pernah dipinjamnya itu.Dimana pena itu merupakan sebuah pena
yang ia sebut sebagai pena kesayangan milik Rayya.Hanya itu,sampai Rayya
selesai berucap terimakasih dan beranjak
keluar dari mushola.
“Apakah kau akan tetap pergi dengan tali
sepatumu yang akan mencelakai dirimu sendiri itu?” Tanya Afnan setengah
berteriak pada perempuan yang telah berjalan beberapa langkah di hadapannya.
Mendengar
pertanyaan itu,Rayya pun berhenti dan menatap ke bawah,tatapan yang ia arahkan
pada tali sepatunya yang berkeliaran.Ia melupakan hal itu lagi.Ya, lupa
mengikatkan tali sepatunya.Itu seperti sebuah penyakit yang selalu menyerang
tubuhnya,penyakit yang tak pernah mampu ia temukan apa gerangan obat yang mampu
menyembuhkan penyakit menyedihkan seperti itu.Hanya siapa yang selalu
mengingatkannya,yang membuat tali sepatu itu selalu kembali terikat dengan
indah.Namun jika siapa yang selalu mengingatkan itu telah pergi,akankah tali
itu akan tetap kembali terikat dengan indah? Ahh..Rayya mencoba menepikan
pertanyaan konyol itu dan segera duduk di sebelah Afnan pada teras mushola untuk
sekedar mengikat tali sepatunya.
“Kau belum juga berubah.”
“Aku hanya masih mencoba belajar untuk
mengingatnya sendiri.Jadi jangan khawatirAku akan baik baik saja.” Jawab Rayya
yang tengah sibuk mengikatkan tali itu.
“Mengapa kau tidak marah?” Tanya lelaki itu
kemudian.
“Marah atas apa?”
“Atas apa yang telah kulakukan terhadapmu.”
Perempuan
itu menyelesaikan ikatan pada tali sepatunya.Kini tali yang menyedihkan itu
kembali terlihat indah dan rapi,sebelum akhirnya ia menjawab sebuah pertanyaan
yang dilontarkan lelaki masa lalunya itu, “Kau lebih pandai daripada aku,kau
lebih banyak tahu daripada aku.Kau melakukan semua ini,karena kau percaya bahwa
hal ini akan membuatmu bahagia,benar kan? Jadi,apakah aku harus marah atas
kebahagiaan orang lain?”
“Bukankah kebahagiaan yang kulakukan itu
adalah sebuah kesalahan?”
“Bukan,itu bukan sebuah kesalahan.Mulai
sekarang,jangan menoleh ke belakang, dan jangan lagi merasa bersalah
padaku.Pikirkan saja cara menjadi bahagia,oke?” Dengan sedikit senyum yang ia
paksakan,Rayya mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan lelaki itu.Ia
bertingkah seakan akan tidak ada lagi beban berat di dalam hatinya, “Hey,apa
itu yang kau bawa?” Bola mata Rayya mendapati sebuah benda yang ada di tangan
kiri Afnan yang terlihat sedikit retak.
“Tidak,itu bukan apa apa.” Kata Afnan dan
segera menyembunyikan benda itu di balik punggungnya.
“Baiklah jika kau tidak berencana
memberitahuku.Jadi, bisakah aku pergi sekarang?”
Lelaki
yang terlihat berbeda tanpa kacamata yang biasa ia kenakan itu hanya
menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan pertanyaan tersebut.Ia pun berdiri
mengikuti Rayya,sebelum akhirnya kembali meninggalkan teras mushola.
“Setelah ini,siapa yang akan mengingatkanmu
untuk mengikat tali sepatumu?
Lagi
lagi sebuah pertanyaan dari lelaki itu membuat langkah kakinya terhenti.Ia diam
beberapa saat,sedikit terkejut dengan pertanyaan Afnan,mengapa lelaki itu bisa
melontarkan pertanyaan seperti itu, “Jika aku menemukannya,maka aku akan
membawanya padamu.” Jawabnya kemudian tanpa menoleh dan kembali bergegas.
“Perempuan yang aneh,
bagaimana ia bisa tetap baik baik saja seperti itu?” Gumam
Afnan dalam hatinya.
Tidak perlu mencari orang lain,mungkin
Rayya mampu mengingat untuk mengikat tali sepatunya sendiri tanpa bantuan
ingatan siapapun.Seperti halnya ia yang berusaha menghapuskan perasaannya pada
lelaki di masa lalunya.Ia hanya perlu mencoba dan mencoba sampai rasa itu benar
benar hilang, sampai ia mampu teringat sendiri jika tali sepatunya belum
terikat.Dan ketika ia mampu mengingatnya sendiri,maka tali sepatunya akan
selalu kembali terikat dengan rapi.Begitu pula ketika ia telah mampu
menghapuskan perasaannya,maka ia akan dengan mudah mengikhlaskan lelaki masa
lalunya merajut kasih dengan orang terdekatnya,seorang yang selama ini selalu
ia sebut sebagai sahabat karibnya.
***
Pagi hari yang menyejukkan ini,tidak
terasa sejuk lagi ketika dua remaja yang mengenakan seragam putih abu abu itu
harus berlari larian di pagi hari untuk mengejar bus yang biasa mereka
tumpangi.Hari ini Rayya dan Hamka sama sama terlambat menuju halte,membuat
mereka harus merasakan lelah atas ulah mereka sendiri.
“Uh….benar benar menyebalkan.” Gerutu Rayya
yang baru saja mengambil duduk setelah ia dan Hamka berhasil mengejar
tumpangannya itu, “Coba saja kau tidak mengajakku berlari tadi.”
“Itu lebih baik daripada kita menunggu bus
berikutnya dan membuat kita terlambat.” Ujar lelaki dengan headset yang menutup
kedua lubang telinganya itu seraya mengelap keringat yang mengucur di dahinya, “Apa
itu yang kau bawa?” Tanyanya mencoba mengalihkan perhatian pada sebuah
bingkisan yang ada di pangkuan Rayya.
“Tolong berikan ini pada Afnan.Aku
menemukannya sedikit rusak saat aku berjumpa dengannya beberapa waktu
lalu,kufikir ia perlu yang baru.” Rayya menyodorkan bingkisan itu pada Hamka
yang duduk di sebelahnya.
Hamka
membuka bingkisan itu dan cukup terkejut saat melihat isinya,”Aku tahu kau
memaafkannya,tetapi bagaimana kau masih bisa berbuat sebaik ini dengan
memberikan benda ini pada lelaki yang telah melukaimu?”
“Memaafkan itu bukan hanya sekedar memaafkan.Saat
kau dilukai,itu bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa yang
pernah melukai.Saat kita mampu tetap berbuat baik setelah memaafkan,maka
sesungguhnya disitulah kau akan menemukan kebahagiaan.Jadi,apakah salah jika
aku berbuat sesuatu yang mampu membahagaiakan diriku sendiri?”
Lelaki
itu diam beberapa saat.Matanya terus tertuju pada benda itu,fikirannya mencoba
memahami setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Rayya, “Tidak,itu tidak salah.Aku hanya kagum.Kau
benar benar perempuan aneh yang pernah kutemui.” Ujar Hamka seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Dengan headset putih yang selalu
terpasang pada kedua telinganya,lelaki itu melewati tiap tiap lorong
perpustakaan.Mencari cari bahan referensi untuk tugas makalahnya.Ia menelusuri
hampir semua lorong.Mulai dari lorong sastra,lorong ilmu pengetahuan,lorong
agama,sampai pada bagian lorong referensi yang memamerkan beraneka ragam
ensiklopedi.Sebelum ia berjalan kembali untuk lorong berikutnya,matanya
berhenti pada seseorang yang cukup ia kenal tengah duduk di meja baca dengan
dua buku tengah terbuka dan satu buku kecil yang ia rasa itu merupakan buku
catatan miliknya.
“Kemana kacamatamu?” Tanya Hamka menghampiri
lelaki di meja baca itu, “Apakah kau tidak kesulitan mencatat rumus rumus itu
dengan mata telanjang?”
Lelaki
itu menoleh pada seseorang yang baru saja berdiri di sebelahnya, “Aku tidak
sengaja meninggalkannya di rumah.” Jawabnya datar dan kembali berkutat pada
rumus rumus matematika yang ada di hadapannya.
Hamka
meletakkan sebuah bingkisan di atas meja baca dan menyodorkannya pada Afnan,
“Ini titipan untukmu,dari Rayya.”
Afnan
menghentikan pekerjaannya, dan membuka bingkisan itu.Di dalamnya ia menemukan
sebuah kotak berbentuk oval dan ia pun membukanya, “Kacamata?” Tanyanya sedikit
terkejut saat ia mendapati apa yang ada di dalam kotak tersebut.
“Rayya bilang beberapa waktu lalu kalian
bertemu dan ia mengetahui jika kacamatamu rusak.Jadi ia memberimu ini.” Ujar
Hamka melepas salah satu bagian headset yang ia kenakan dan mengambil duduk di
sebelah Afnan, “Saat kutanya mengapa,ia hanya menjawab, saat kau dilukai,itu
bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa yang pernah melukai.Benar
benar perempuan yang aneh,bukan? Bagaimana ia masih bisa menolong orang yang
telah melukainya? Kufikir,terlalu bodoh meninggalkan perempuan sepertinya.”
Lelaki itu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali meneruskan
kalimatnya, “Baiklah,kurasa tugasku telah selesai,dan aku harus pergi
sekarang.” Katanya lagi dan beranjak dari duduknya,memasang kembali bagian
headset yang tadinya ia lepas dan melenggang keluar dari perpustakaan itu.
Afnan
tak berkomentar apapun.Ia masih terdiam tak percaya dengan benda yang dibawanya
itu.Sebuah benda yang sangat ia butuhkan,yang ia peroleh dari perempuan masa
lalunya.Ia merekam jelas jelas jawaban yang diberikan Rayya saat Hamka
menanyainya mengapa ia masih bisa berbuat sebaik itu.Sebuah jawaban sederhana
–saat kau dilukai, itu bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa
yang pernah melukai— namun penuh makna.Dengan perasaan bersalah yang masih
menyelimuti hatinya,Afnan terus menatap benda itu.Ia teringat saat ia berjumpa
dengan perempuan itu di mushola beberapa waktu lalu.Lelaki itu berfikiran bahwa
Rayya tidak mengetahui benda apa yang tengah dibawanya karena ia sempat menyembunyikannya
di balik punggungnya.Tetapi fikirannya salah.Perempuan itu telah berhasil
mengetahuinya lebih dulu sebelum Afnan menyembunyikannya.
***
Hujan sore itu kembali menjebak para
siswa yang masih berkeliaran di lingkungan sekolah ini,tak terkecuali
Rayya.Membuat mereka harus menunda rencana untuk pulang.Suasana kelas atas
sudah tak terlalu ramai.Rayya pun keluar menuruni anak tangga dan berencana
menemui Hamka di kelasnya.Namun tiba-tiba ia berhenti sebelum mencapai anak
tangga paling bawah.Matanya menatap pada dua orang yang berpapasan dengannya di
tangga itu.Orang orang yang amat sangat dikenalnya.Seorang perempuan dengan
lesung di pipi kirinya,dan lelaki berkacamata yang pernah singgah di hatinya.Mereka
pun juga berhenti.Suasana berubah menjadi hening.Hanya terdengar guyuran hujan
deras di luar sana.Beberapa detik lamanya mereka bertiga hanya saling bertatap
muka.
“Bagaimana kau bisa seperti itu?” Tanya
perempuan pemilik lesung di pipi kirinya itu memecah keheningan.
“Apa yang kau bicarakan?” Rayya balik
bertanya padanya dengan tatapan bingung.
“Aku telah melukai kepercayaanmu,Afnan juga
telah menancapkan duri pada hatimu,lalu bagaimana kau tetap merasa baik baik
saja dalam keadaan seperti itu.Ha?” Nada suara Fara mulai meninggi, “Kau
ini…apa kau tidak punya hati,atau kau memang tidak bisa merasakan sakit hati?”
“Itu bukannya aku tidak tahu apa itu
kemarahan,bukannya aku tidak tahu apa itu ketidakadilan,dan bukannya aku tidak
bisa merasakan sakit hati.Hanya saja,itu karena aku perlu hidup.Saat hal baik
terjadi kepadaku,maka bukan berarti hidupku akan berakhir.Begitu pula saat hal
buruk terjadi kepadaku,maka bukan berarti juga hidupku akan usai.Hal baik dan
hal buruk,mereka semua akan lewat dan berlalu.Jika hal baik dan hal buruk itu
hanya akan berlalu,jadi untuk apa aku marah,untuk apa aku berlama lama
merasakan sakit hati.Lagipula,seseorang mengajarkanku untuk jangan benci dan
jangan marah,tetapi pahamilah dan maafkanlah.”
“Tapi,bukankah hal yang wajar dan bahkan
perlu jika sebuah kesalahan harus mendapatkan kemarahan atau kebencian?” Lelaki
yang kembali terlihat seperti biasa dengan kacamata barunya itupun berganti
melontarkan pertanyaan pada Rayya.
“Ya,terkadang memang wajar atau mungkin
bahkan perlu sebuah kesalahan itu mendapat kemarahan atau kebencian.Tetapi
karena cinta bukan sebuah kesalahan,maka ia tak perlu dibenci.”
“Apa yang kau maksud cinta bukan sebuah
kesalahan?” Tanya Afnan lagi.
“Lihatlah diri kalian.Cinta yang kalian rajut
telah membuat kalian bahagia.Apakah sesuatu yang membuatmu bahagia itu bisa kau
sebut dengan sebuah kesalahan? Jika iya,maka semua orang yang pernah merasakan
kebahagiaan itu mereka telah melakukan kesalahan.Semua orang yang memiliki cinta
yang mampu menciptakan rasa bahagia itu juga telah berbuat kesalahan.Itu
berarti mereka perlu dibenci,seperti yang kau bilang bahwa kebencian itu perlu
ada pada sebuah kesalahan.Cinta itu bukan sebuah kesalahan.Hanya saja cinta
memang bisa melukai.”
Tak
ada sepatah katapun yang bisa mereka ungkapkan pada perempuan itu.Keheningan
kembali tercipta selama beberapa detik,sampai akhirnya Rayya berpamitan dan kembali
menuruni anak tangga,meninggalkan mereka berdua yang masih memaku pada
pertengahan anak tangga itu.
“Kurasa sudah cukup reda.Ayo kita pulang.”
Pinta Rayya yang telah sampai di depan kelas Hamka di lantai bawah dan
menemukan lelaki itu tengah asyik bermain dengan laptopnya.
“Apa kau tetap akan pergi dengan tali sepatumu
yang menyedihkan seperti itu?” Tanya Hamka segera menutup laptopnya dan menatap
tali sepatu milik perempuan yang telah berjalan mendahuluinya beberapa langkah.
Pertanyaan
itu membuat perempuan pemilik bola mata hitam pekat itupun berhenti dan menatap
tali sepatunya.Ia kembali mencerna setiap kata yang terangkai dalam pertanyaan
yang dilontarkan lelaki yang selalu menutup kedua lubang telinganya dengan
headset itu.Sebuah pertanyaan yang paling sering ia dengar,tapi kali ini
pertanyaan itu keluar dari mulut orang yang berbeda.
“Ikatkan
dulu tali sepatumu lalu kita akan pulang.” Lelaki itu menghampiri Rayya dan
memintanya untuk duduk.
Rayya
memenuhi permintaannya.Ia pun berhenti dan duduk pada sebuah kursi panjang yang
terletak di depan kelas Hamka.MungkinRayya memang perlu orang lain untuk
kembali mengingatkannya mengikat tali sepatunya.Begitu pula ia perlu orang lain
untuk menghapuskan perasaannya pada lelaki masa lalunya.
“Kau tidak perlu
khawatir,Afnan.Karena kurasa aku telah menemukan siapa sekarang yang akan
mengingatkanku untuk mengikat tali sepatuku lagi.”
Ungkapnya dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar