Selasa, 01 September 2015



Because Love is not a Mistake

            Mendung gelap yang tak memberi kepastian pada bumi.Kepastian apakah gumpalan awan yang dibawanya akan memberontak untuk dilemparkan ke bumi atau tidak.Ketidakpastian ini,membuat orang orang di luar sana harap harap cemas jikalau benar gumpalan awan itu benar benar memberontak dan membasahi tubuh bumi yang kering.Sama halnya seperti sebongkah hati yang dibiarkan selama ini.Hati yang dibiarkan terombang ambing dalam ketidakpastian.Ketidakpastian yang membuat hadirnya rasa takut jika pada kenyataannya yang akan diterimanya adalah sebuah kehilangan,luka,dan pengkhianatan.
  “Setahuku,tidak ada satu kesalahanpun yang membuatku tega membencimu.” Ujar Rayya, perempuan pemilik bola mata hitam pekat itu terus menatap gumpalan awan hitam dari lantai atas tanpa menghadapkan tubuhnya pada dua orang terdekat yang berdiri di belakangnya.
  “Kurasa ini sebuah pengecualian,karena aku telah melakukan kesalahan terbesar.” Jawab Fara, seorang perempuan yang memiliki lesung di pipi kirinya itu telah berdiri beberapa saat di belakang Rayya,dengan seorang lelaki yang juga berdiri di sebelahnya.
  “Katakan apa itu!”
  “Saat apa yang kau rindukan,juga dirindukan oleh orang terdekatmu.Bukankah tidak seharusnya, siapa yang kau percaya telah berbuat dusta.Namun rasa itu telah mengalahkan segalanya.Membuatku tak bisa mempertahankan kepercayaanmu.”
  “Dan tidak pula seharusnya, siapa yang selalu kau rindukan, namun kini telah berbalik melukaimu.” Lelaki berkacamata yang berdiri di sebelah Fara itu akhirnya membuka mulutnya.
  “Seandainya ada yang lebih indah,pasti akan kuberi apa itu yang lebih indah dari kata maaf,namun aku tidak menemukannya.” Kata perempuan itu lagi, “Jika kau ingin marah,maka lakukanlah.”
  “Tidak perlu.” Ujar Rayya tanpa berbalik ke arah mereka berdua dan berusaha menahan genangan air yang mengumpul di pelupuk matanya, “Aku telah mendengar sebuah kepastian,sekarang aku merasa lebih baik.” Tanpa berkata lebih,ataupun sedikit melihat bagaimana raut wajah dua orang terdekatnya,Rayya pun melangkahkan kakinya menuruni tiap tiap anak tangga.Setidaknya,telapak kaki itu masih kuat menopang tubuhnya yang tiba tiba terasa lemas setelah mendengar hal buruk yang ditakutkannya selama ini.
            Apakah kau pernah melihat hujan turun pada langit yang terang? Tidakkah kau berfikir hal itu akan mustahil untuk terjadi? Namun pada kenyataannya,manusia di bumi ini pernah menyaksikannya sendiri.Begitu pula,Rayya tak pernah berfikir jika orang terdekatnya akan melukai kepercayaan yang diberikan olehnya.Tetapi ia menyaksikannya sendiri,itu berarti ia harus percaya bahwa hal ini benar benar terjadi.
            Dengan menutupi kepalanya menggunakan ransel hitam miliknya,Rayya berlari dari halaman sekolah menuju pintu gerbang.Awan gelap yang ia tatap sejak tadi dari lantai atas itu kini telah memberi kepastian pada bumi.Ia benar benar memberontak,membuat gumpalan awan awan itu terlempar ke bumi dan membasahi seluruh isinya.Meski tidak semua dari mereka menyenangi hujan,namun pada akhirnya mereka tidak bisa menolak jika takdir meminta hujan untuk turun.Tak berbeda dengan hidup.Pada hakikatnya hidup itu harus menerima,mengerti,dan memahami.Saat hal buruk terjadi dalam hidupnya,bagaimanapun ia akan menepikannya,Rayya tidak akan mampu menolaknya.Karena bagaimanapun bentuknya,sebuah kenyataan haruslah ia terima.
            Sekarang,gumpalan awan itu semakin membasahi kota kecil yang terletak di provinsi Jawa Timur ini.Meski hari masih siang,namun hampir tidak ada jalanan yang tidak basah.Untungnya,Rayya telah berada di dalam bus sejak gumpalan awan itu masih melemparkan butiran butiran kecil,sehingga ia tidak perlu merasakan dinginnya air hujan siang hari itu.
  “Pakailah.” Ujar seorang lelaki yang duduk di sebelah Rayya, “Kau akan lebih tenang jika mendengarkan musik.” Katanya lagi seraya menyodorkan salah satu bagian headset yang ia kenakan.
  “Terimakasih,Hamka.Kurasa aku sedang tidak perlu mendengarkannya saat ini.” Di balik kerudung putih yang menutupi kepalanya,perempuan itu menolak dengan halus tawaran dari teman baiknya itu.
  “Terkadang,tidak semua yang terjadi dalam hidup selalu bisa diterima dengan baik.Adakalanya mereka ingin marah,memberontak pada sebuah kenyataan yang tidak diinginkan.” Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.Mendekapkan kedua tangannya di atas perut untuk sedikit mengusir hawa dingin yang menyerang tubuhnya itu, “Tapi ketahuilah.Saat kita memilih untuk menerima,maka sesungguhnya disitulah Tuhan menaruh ketenangan jiwa dan kebahagiaan untuk hamba-Nya.Jadi,jika kau ingin mengejar kebahagiaan yang sempat hilang itu,jangan benci dan jangan marah, tetapi pahamilah dan maafkanlah mereka.”
            Rayya memang belum pernah merasakan sebuah kebahagiaan yang hadir dari rasa maaf yang tulus.Tapi sepertinya apa yang diucapkan Hamka benar.Genangan air yang mengumpul di pelupuk matanya sejak tadi itupun akhirnya terurai dan membasahi pipinya yang tersembunyi di balik kerudungnya.Meski Rayya berusaha mengelapnya,namun tetap saja lelaki yang hanya mengenakan salah satu bagian headsetnya itu tahu jika perempuan yang sejak tadi menatap keluar jendela tersebut kini tengah menangis.Lelaki itu kembali memungut salah satu bagian headset yang ditolak oleh Rayya dan membiarkan perempuan itu larut dalam kesedihannya.Mungkin air mata itu mampu sedikit menguras kesedihannya.
***
            Kehilangannya,bukan berarti Rayya juga harus menghapuskan suatu hal mulia yang pernah diajarkan oleh lelaki berkacamata itu.Hal itu tidak lain adalah sujud panjang yang selalu ia tunaikan pada setiap sujud terakhir dalam sholat,membuat jiwa yang saat ini tengah diuji menjadi lebih tenang.Doa untuk kedua orang tua,untuk umur panjang mereka,untuk hati mereka yang semoga selalu diberi kesabaran oleh Allah,adalah sekumpulan doa yang tak pernah ia lewatkan dalam sujud panjang ini.Namun kali ini ada sebuah doa yang berbeda.Doa baru untuk hidup barunya.Mungkin Rayya memang telah memaafkan,telah mampu menerima,tetapi untuk mengikhlaskan dan menghapuskan perasaan pada siapa yang pernah dirindukan,ia tak mampu melakukannya seorang diri.Ia butuh Sang Pencipta untuk menuntunnya menuju jalan keihklasan melalui doa doa yang ia panjatkan.Hingga ia sampai pada penghujung sholat ashar yang ia tunaikan dan menangkupkan kedua telapak tangan pada wajahnya.
Rayya melipat mukenanya dan memasukkannya ke dalam ransel,sebelum akhirnya ia beranjak dari tempat suci itu dan melenggang keluar mushola kecil yang letaknya tak jauh dari kantin sekolah.Baru ia sampai pada ambang pintu,seseorang yang tengah duduk pada teras mushola telah menungguinya.Bukanlah orang asing baginya,namun hari ini seseorang itu nampak berbeda tanpa kacamata minus yang selalu ia pakai.Entah karena apa lelaki itu tiba-tiba mencari perempuan masa lalunya.Namun saat Rayya menghampirinya,ia hanya berkata jika ia hanya ingin mengembalikan sebuah pena berwarna hijau muda yang memiliki lampu senter pada penutupnya yang pernah dipinjamnya itu.Dimana pena itu merupakan sebuah pena yang ia sebut sebagai pena kesayangan milik Rayya.Hanya itu,sampai Rayya selesai berucap terimakasih  dan beranjak keluar dari mushola.
  “Apakah kau akan tetap pergi dengan tali sepatumu yang akan mencelakai dirimu sendiri itu?” Tanya Afnan setengah berteriak pada perempuan yang telah berjalan beberapa langkah di hadapannya.
Mendengar pertanyaan itu,Rayya pun berhenti dan menatap ke bawah,tatapan yang ia arahkan pada tali sepatunya yang berkeliaran.Ia melupakan hal itu lagi.Ya, lupa mengikatkan tali sepatunya.Itu seperti sebuah penyakit yang selalu menyerang tubuhnya,penyakit yang tak pernah mampu ia temukan apa gerangan obat yang mampu menyembuhkan penyakit menyedihkan seperti itu.Hanya siapa yang selalu mengingatkannya,yang membuat tali sepatu itu selalu kembali terikat dengan indah.Namun jika siapa yang selalu mengingatkan itu telah pergi,akankah tali itu akan tetap kembali terikat dengan indah? Ahh..Rayya mencoba menepikan pertanyaan konyol itu dan segera duduk di sebelah Afnan pada teras mushola untuk sekedar mengikat tali sepatunya.
  “Kau belum juga berubah.”
  “Aku hanya masih mencoba belajar untuk mengingatnya sendiri.Jadi jangan khawatirAku akan baik baik saja.” Jawab Rayya yang tengah sibuk mengikatkan tali itu.
  “Mengapa kau tidak marah?” Tanya lelaki itu kemudian.
  “Marah atas apa?”
  “Atas apa yang telah kulakukan terhadapmu.”
Perempuan itu menyelesaikan ikatan pada tali sepatunya.Kini tali yang menyedihkan itu kembali terlihat indah dan rapi,sebelum akhirnya ia menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan lelaki masa lalunya itu, “Kau lebih pandai daripada aku,kau lebih banyak tahu daripada aku.Kau melakukan semua ini,karena kau percaya bahwa hal ini akan membuatmu bahagia,benar kan? Jadi,apakah aku harus marah atas kebahagiaan orang lain?”
  “Bukankah kebahagiaan yang kulakukan itu adalah sebuah kesalahan?”
  “Bukan,itu bukan sebuah kesalahan.Mulai sekarang,jangan menoleh ke belakang, dan jangan lagi merasa bersalah padaku.Pikirkan saja cara menjadi bahagia,oke?” Dengan sedikit senyum yang ia paksakan,Rayya mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan lelaki itu.Ia bertingkah seakan akan tidak ada lagi beban berat di dalam hatinya, “Hey,apa itu yang kau bawa?” Bola mata Rayya mendapati sebuah benda yang ada di tangan kiri Afnan yang terlihat sedikit retak.
  “Tidak,itu bukan apa apa.” Kata Afnan dan segera menyembunyikan benda itu di balik punggungnya.
  “Baiklah jika kau tidak berencana memberitahuku.Jadi, bisakah aku pergi sekarang?”
Lelaki yang terlihat berbeda tanpa kacamata yang biasa ia kenakan itu hanya menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan pertanyaan tersebut.Ia pun berdiri mengikuti Rayya,sebelum akhirnya kembali meninggalkan teras mushola.
  “Setelah ini,siapa yang akan mengingatkanmu untuk mengikat tali sepatumu?
Lagi lagi sebuah pertanyaan dari lelaki itu membuat langkah kakinya terhenti.Ia diam beberapa saat,sedikit terkejut dengan pertanyaan Afnan,mengapa lelaki itu bisa melontarkan pertanyaan seperti itu, “Jika aku menemukannya,maka aku akan membawanya padamu.” Jawabnya kemudian tanpa menoleh dan kembali bergegas.
  “Perempuan yang aneh, bagaimana ia bisa tetap baik baik saja seperti itu?” Gumam Afnan dalam hatinya.
            Tidak perlu mencari orang lain,mungkin Rayya mampu mengingat untuk mengikat tali sepatunya sendiri tanpa bantuan ingatan siapapun.Seperti halnya ia yang berusaha menghapuskan perasaannya pada lelaki di masa lalunya.Ia hanya perlu mencoba dan mencoba sampai rasa itu benar benar hilang, sampai ia mampu teringat sendiri jika tali sepatunya belum terikat.Dan ketika ia mampu mengingatnya sendiri,maka tali sepatunya akan selalu kembali terikat dengan rapi.Begitu pula ketika ia telah mampu menghapuskan perasaannya,maka ia akan dengan mudah mengikhlaskan lelaki masa lalunya merajut kasih dengan orang terdekatnya,seorang yang selama ini selalu ia sebut sebagai sahabat karibnya.
***
            Pagi hari yang menyejukkan ini,tidak terasa sejuk lagi ketika dua remaja yang mengenakan seragam putih abu abu itu harus berlari larian di pagi hari untuk mengejar bus yang biasa mereka tumpangi.Hari ini Rayya dan Hamka sama sama terlambat menuju halte,membuat mereka harus merasakan lelah atas ulah mereka sendiri.
  “Uh….benar benar menyebalkan.” Gerutu Rayya yang baru saja mengambil duduk setelah ia dan Hamka berhasil mengejar tumpangannya itu, “Coba saja kau tidak mengajakku berlari tadi.”
  “Itu lebih baik daripada kita menunggu bus berikutnya dan membuat kita terlambat.” Ujar lelaki dengan headset yang menutup kedua lubang telinganya itu seraya mengelap keringat yang mengucur di dahinya, “Apa itu yang kau bawa?” Tanyanya mencoba mengalihkan perhatian pada sebuah bingkisan yang ada di pangkuan Rayya.
  “Tolong berikan ini pada Afnan.Aku menemukannya sedikit rusak saat aku berjumpa dengannya beberapa waktu lalu,kufikir ia perlu yang baru.” Rayya menyodorkan bingkisan itu pada Hamka yang duduk di sebelahnya.
Hamka membuka bingkisan itu dan cukup terkejut saat melihat isinya,”Aku tahu kau memaafkannya,tetapi bagaimana kau masih bisa berbuat sebaik ini dengan memberikan benda ini pada lelaki yang telah melukaimu?”
  “Memaafkan itu bukan hanya sekedar memaafkan.Saat kau dilukai,itu bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa yang pernah melukai.Saat kita mampu tetap berbuat baik setelah memaafkan,maka sesungguhnya disitulah kau akan menemukan kebahagiaan.Jadi,apakah salah jika aku berbuat sesuatu yang mampu membahagaiakan diriku sendiri?”
Lelaki itu diam beberapa saat.Matanya terus tertuju pada benda itu,fikirannya mencoba memahami setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Rayya,  “Tidak,itu tidak salah.Aku hanya kagum.Kau benar benar perempuan aneh yang pernah kutemui.” Ujar Hamka seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
            Dengan headset putih yang selalu terpasang pada kedua telinganya,lelaki itu melewati tiap tiap lorong perpustakaan.Mencari cari bahan referensi untuk tugas makalahnya.Ia menelusuri hampir semua lorong.Mulai dari lorong sastra,lorong ilmu pengetahuan,lorong agama,sampai pada bagian lorong referensi yang memamerkan beraneka ragam ensiklopedi.Sebelum ia berjalan kembali untuk lorong berikutnya,matanya berhenti pada seseorang yang cukup ia kenal tengah duduk di meja baca dengan dua buku tengah terbuka dan satu buku kecil yang ia rasa itu merupakan buku catatan miliknya.
  “Kemana kacamatamu?” Tanya Hamka menghampiri lelaki di meja baca itu, “Apakah kau tidak kesulitan mencatat rumus rumus itu dengan mata telanjang?”
Lelaki itu menoleh pada seseorang yang baru saja berdiri di sebelahnya, “Aku tidak sengaja meninggalkannya di rumah.” Jawabnya datar dan kembali berkutat pada rumus rumus matematika yang ada di hadapannya.
Hamka meletakkan sebuah bingkisan di atas meja baca dan menyodorkannya pada Afnan, “Ini titipan untukmu,dari Rayya.”
Afnan menghentikan pekerjaannya, dan membuka bingkisan itu.Di dalamnya ia menemukan sebuah kotak berbentuk oval dan ia pun membukanya, “Kacamata?” Tanyanya sedikit terkejut saat ia mendapati apa yang ada di dalam kotak tersebut.
  “Rayya bilang beberapa waktu lalu kalian bertemu dan ia mengetahui jika kacamatamu rusak.Jadi ia memberimu ini.” Ujar Hamka melepas salah satu bagian headset yang ia kenakan dan mengambil duduk di sebelah Afnan, “Saat kutanya mengapa,ia hanya menjawab, saat kau dilukai,itu bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa yang pernah melukai.Benar benar perempuan yang aneh,bukan? Bagaimana ia masih bisa menolong orang yang telah melukainya? Kufikir,terlalu bodoh meninggalkan perempuan sepertinya.” Lelaki itu menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali meneruskan kalimatnya, “Baiklah,kurasa tugasku telah selesai,dan aku harus pergi sekarang.” Katanya lagi dan beranjak dari duduknya,memasang kembali bagian headset yang tadinya ia lepas dan melenggang keluar dari perpustakaan itu.
Afnan tak berkomentar apapun.Ia masih terdiam tak percaya dengan benda yang dibawanya itu.Sebuah benda yang sangat ia butuhkan,yang ia peroleh dari perempuan masa lalunya.Ia merekam jelas jelas jawaban yang diberikan Rayya saat Hamka menanyainya mengapa ia masih bisa berbuat sebaik itu.Sebuah jawaban sederhana –saat kau dilukai, itu bukan berarti kau harus berhenti berbuat baik pada siapa yang pernah melukai— namun penuh makna.Dengan perasaan bersalah yang masih menyelimuti hatinya,Afnan terus menatap benda itu.Ia teringat saat ia berjumpa dengan perempuan itu di mushola beberapa waktu lalu.Lelaki itu berfikiran bahwa Rayya tidak mengetahui benda apa yang tengah dibawanya karena ia sempat menyembunyikannya di balik punggungnya.Tetapi fikirannya salah.Perempuan itu telah berhasil mengetahuinya lebih dulu sebelum Afnan menyembunyikannya.
***
            Hujan sore itu kembali menjebak para siswa yang masih berkeliaran di lingkungan sekolah ini,tak terkecuali Rayya.Membuat mereka harus menunda rencana untuk pulang.Suasana kelas atas sudah tak terlalu ramai.Rayya pun keluar menuruni anak tangga dan berencana menemui Hamka di kelasnya.Namun tiba-tiba ia berhenti sebelum mencapai anak tangga paling bawah.Matanya menatap pada dua orang yang berpapasan dengannya di tangga itu.Orang orang yang amat sangat dikenalnya.Seorang perempuan dengan lesung di pipi kirinya,dan lelaki berkacamata yang pernah singgah di hatinya.Mereka pun juga berhenti.Suasana berubah menjadi hening.Hanya terdengar guyuran hujan deras di luar sana.Beberapa detik lamanya mereka bertiga hanya saling bertatap muka.
 “Bagaimana kau bisa seperti itu?” Tanya perempuan pemilik lesung di pipi kirinya itu memecah keheningan.
  “Apa yang kau bicarakan?” Rayya balik bertanya padanya dengan tatapan bingung.
  “Aku telah melukai kepercayaanmu,Afnan juga telah menancapkan duri pada hatimu,lalu bagaimana kau tetap merasa baik baik saja dalam keadaan seperti itu.Ha?” Nada suara Fara mulai meninggi, “Kau ini…apa kau tidak punya hati,atau kau memang tidak bisa merasakan sakit hati?”
  “Itu bukannya aku tidak tahu apa itu kemarahan,bukannya aku tidak tahu apa itu ketidakadilan,dan bukannya aku tidak bisa merasakan sakit hati.Hanya saja,itu karena aku perlu hidup.Saat hal baik terjadi kepadaku,maka bukan berarti hidupku akan berakhir.Begitu pula saat hal buruk terjadi kepadaku,maka bukan berarti juga hidupku akan usai.Hal baik dan hal buruk,mereka semua akan lewat dan berlalu.Jika hal baik dan hal buruk itu hanya akan berlalu,jadi untuk apa aku marah,untuk apa aku berlama lama merasakan sakit hati.Lagipula,seseorang mengajarkanku untuk jangan benci dan jangan marah,tetapi pahamilah dan maafkanlah.”
  “Tapi,bukankah hal yang wajar dan bahkan perlu jika sebuah kesalahan harus mendapatkan kemarahan atau kebencian?” Lelaki yang kembali terlihat seperti biasa dengan kacamata barunya itupun berganti melontarkan pertanyaan pada Rayya.
  “Ya,terkadang memang wajar atau mungkin bahkan perlu sebuah kesalahan itu mendapat kemarahan atau kebencian.Tetapi karena cinta bukan sebuah kesalahan,maka ia tak perlu dibenci.”
  “Apa yang kau maksud cinta bukan sebuah kesalahan?” Tanya Afnan lagi.
  “Lihatlah diri kalian.Cinta yang kalian rajut telah membuat kalian bahagia.Apakah sesuatu yang membuatmu bahagia itu bisa kau sebut dengan sebuah kesalahan? Jika iya,maka semua orang yang pernah merasakan kebahagiaan itu mereka telah melakukan kesalahan.Semua orang yang memiliki cinta yang mampu menciptakan rasa bahagia itu juga telah berbuat kesalahan.Itu berarti mereka perlu dibenci,seperti yang kau bilang bahwa kebencian itu perlu ada pada sebuah kesalahan.Cinta itu bukan sebuah kesalahan.Hanya saja cinta memang bisa melukai.”
Tak ada sepatah katapun yang bisa mereka ungkapkan pada perempuan itu.Keheningan kembali tercipta selama beberapa detik,sampai akhirnya Rayya berpamitan dan kembali menuruni anak tangga,meninggalkan mereka berdua yang masih memaku pada pertengahan anak tangga itu.
  “Kurasa sudah cukup reda.Ayo kita pulang.” Pinta Rayya yang telah sampai di depan kelas Hamka di lantai bawah dan menemukan lelaki itu tengah asyik bermain dengan laptopnya.
  “Apa kau tetap akan pergi dengan tali sepatumu yang menyedihkan seperti itu?” Tanya Hamka segera menutup laptopnya dan menatap tali sepatu milik perempuan yang telah berjalan mendahuluinya beberapa langkah.
Pertanyaan itu membuat perempuan pemilik bola mata hitam pekat itupun berhenti dan menatap tali sepatunya.Ia kembali mencerna setiap kata yang terangkai dalam pertanyaan yang dilontarkan lelaki yang selalu menutup kedua lubang telinganya dengan headset itu.Sebuah pertanyaan yang paling sering ia dengar,tapi kali ini pertanyaan itu keluar dari mulut orang yang berbeda.
“Ikatkan dulu tali sepatumu lalu kita akan pulang.” Lelaki itu menghampiri Rayya dan memintanya untuk duduk.
Rayya memenuhi permintaannya.Ia pun berhenti dan duduk pada sebuah kursi panjang yang terletak di depan kelas Hamka.MungkinRayya memang perlu orang lain untuk kembali mengingatkannya mengikat tali sepatunya.Begitu pula ia perlu orang lain untuk menghapuskan perasaannya pada lelaki masa lalunya.

“Kau tidak perlu khawatir,Afnan.Karena kurasa aku telah menemukan siapa sekarang yang akan mengingatkanku untuk mengikat tali sepatuku lagi.” Ungkapnya dalam hati.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!